Sistem Pemerintahan daerah (SBD)

Administrasi Keuangan Daerah

04
MAY
KONSEP KEUANGAN DAERAH DI INDONESIA

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, keuangan daerah adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang maupun barang yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban daerah tersebut”.

Dari uraian di atas, dapat diambil kata kunci dari keuangan daerah adalah hak dan kewajiban. Hak merupakan hak daerah untuk mencari sumber pendapatan daerah berupa pungutan pajak daerah, retribusi daerah atau sumber penerimaan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kewajiban adalah kewajiban daerah untuk mengeluarkan uang dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintah di daerah (Mamesah, 1995:5).

Salah satu faktor penting untuk melaksanakan urusan rumah tangga daerah adalah kemampuan keuangan daerah. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan daerah ini Pamudji dalam Kaho (2007:138-139) menegaskan:

“Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan ……… Dan keuangan inilah merupakan dalam satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri”.

Sementara itu, untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Lains dalam Kaho (2007:139-140) merinci ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh daerah untuk memperoleh keuangannya, antara lain:

1) Daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah yang sudah direstui oleh Pemerintah Pusat;

2) Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau Bank atau melalui pemerintah pusat;

3) Daerah dapat ikut ambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang dipungut daerah, misalnya sekian persen dari pendapatan sentral tersebut (melalui bagi hasil);

4) Pemerintah daerah dapat menambah tarif pajak setral tertentu; dan

5) Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari Pemerintah Pusat.

Dalam melaksanakan keuangan daerah perlu dibuatkan suatu perencanaan agar seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan dapat dikelola dengan baik. Bentuk perencanaan keuangan daerah inilah yang dikenal dengan istilah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagaimana telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah.

Seperti halnya dalam kebijakan APBN, jika Pemerintah daerah menetapkan bahwa kebijakan anggarannya bersifat ekspansif, artinya APBD akan diprioritaskan untuk menstimulasi perekonomian daerah melalui pengeluaran pembangunan (development budget). Sebaliknya, jika pemerintah daerah menetapkan kebijakan APBD bersifat kontraksi, maka APBD kurang dapat diharapkan untuk menggerakkan perekonomian daerah, karena anggaran pembangunan jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan belanja rutin daerah (Saragih, 2003:82).

Menurut Mamesah (1995:16) APBD sebagai sarana atau alat utama dalam menjalankan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, karena fungsi APBD adalah sebagai berikut:

1) Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada rakyat dari daerah yang bersangkutan;

2) Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan otonomi;

3) Memberikan isi dan arti tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala daerah khususnya, karena APBD itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah;

4) Merupakan suatu sarana untuk melaksanakan pengawasan terhadap daerah dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna; dan

5) Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah dalam batas-batas tertentu.

Pengelolaan keuangan daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi diatur secara mendetail dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 (yang kemudian dilengkapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi daerah, pemerintah daerah berhak menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, yang komponen-komponennya sebagaimana tertuang dalam struktur APBD antara lain terdiri dari:

A. Pendapatan Daerah

Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Pendapatan Daerah bersumber dari:

1. Pendapatan Asli Daerah;

Pendapatan Asli Daerah merupakan modal dasar Pemerintah Daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah (Widjaja, 1998:42). Definisi lain seperti dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan tentunya pendapatan tersebut diperoleh dari hasil yang berada dalam wilayahnya sendiri.

Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Sumber PAD antara lain terdiri dari:

1) Hasil pajak daerah, yaitu pungutan yang dilakukan oleh pemerintah Daerah kepada semua obyek pajak, seperti orang/badan, benda bergerak/tidak bergerak;

2) Hasil retribusi daerah, yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa/fasilitas yang berlaku oleh Pemerintah Daerah secara langsung dan nyata;

3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain:

a) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;

b) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN;

c) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat;

4) Lain-lain PAD yang sah, antara lain:

a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;

b) Jasa giro;

c) Pendapatan bunga;

d) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;

e) Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;

f) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;

g) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;

h) Pendapatan denda pajak;

i) Pendapatan denda retribusi;

j) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;

k) Pendapatan dari pengembalian;

l) Fasilitas sosial dan fasilitas umum;

m) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan

n) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

Pemberian sumber PAD bagi daerah ini bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan desentralisasi.

Menurut Mahi (2000:58), pendapatan asli daerah belum bisa diandalkan sebagai sumber pembiayaan utama otonomi daerah kabupaten/kota disebabkan oleh beberapa hal berikut.

1) Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah.

2) Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah.

3) Kemampuan administrasi pemungutan di daerah masih rendah.

4) Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah.

2. Dana Perimbangan;

Dana Perimbangan dikeluarkan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Pasal 10, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur tentang Dana Perimbangan yang setiap tahun ditetapkan untuk menjadi hak Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota terdiri dari:

1) Dana Bagi Hasil, bagian Daerah bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan dari sumber daya alam;

a) Dana Bagi Hasil Pajak yang bersumber dari:

– Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

– Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);

– Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

b) Dana Bagi Hasil Bukan Pajak yang bersumber dari sumber daya alam, berasal dari:

– kehutanan;

– pertambangan umum;

– perikanan;

– pertambangan minyak bumi;

– pertambangan gas bumi; dan

– pertambangan panas bumi.

Pembagian Dana Bagi Hasil dibagi menurut persentase yang berbeda-beda pada setiap sumber Dana Bagi Hasil yang diatur dalam pasal 12 sampai dengan pasal 21.

2) Dana Alokasi Umum;

Besarnya Persentasi Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU tersebut dibagi atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

3) Dana Alokasi Khusus.

Besaran Dana Alokasi Khusus (DAK) ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis.

3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah

Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah bertujuan memberi peluang kepada Daerah untuk memperoleh pendapatan selain Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah. Lain-lain pendapatan daerah yang sah ini terdiri atas:

1) Hibah, adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, badan/lembaga dalam negeri/perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali dan bersifat tidak mengikat.

2) Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam.

3) Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota.

4) Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.

5) Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.

B. Belanja

Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.

Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri atas belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Klasifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup:

1) Pendidikan;

2) Kesehatan;

3) Pekerjaan umum;

4) Perumahan rakyat;

5) Penataan ruang;

6) Perencanaan pembangunan;

7) Perhubungan;

8) Lingkungan hidup;

9) Pertanahan;

10) Kependudukan dan catatan sipil;

11) Pemberdayaan perempuan;

12) Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

13) Sosial;

14) Tenaga kerja;

15) Koperasi dan usaha kecil menengah;

16) Penanaman modal;

17) Kebudayaan;

18) Pemuda dan oleh raga;

19) Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

20) Pemerintahan umum;

21) Kepegawaian;

22) Pemberdayaan masyarakat dan desa;

23) Statistik;

24) Arsip; dan

25) Komunikasi dan informatika.

Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup:

1) Pertanian;

2) Kehutanan;

3) Energi dan sumber daya mineral;

4) Pariwisata;

5) Kelautan dan perikanan;

6) Perdagangan;

7) Perindustrian; dan

8) Transmigrasi.

Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pada masing-masing pemerintah daerah dan klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkan belanja menurut kelompok belanja, terdiri dari:

1) Belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung ini tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung terbagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

a) Belanja pegawai;

b) Bunga;

c) Subsidi;

d) Hibah;

e) Bantuan sosial;

f) Belanja bagi hasil;

g) Bantuan keuangan; dan

h) Belanja tidak terduga.

2) Belanja langsung. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri atas:

a) Belanja pegawai;

b) Belanja barang dan jasa; dan

c) Belanja modal.

C. Pembiayaan

Pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.

Apabila APBD diperkirakan surplus diutamakan untuk membayar pokok utang, penyertaan modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah lain, dan/atau pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial. Sementara itu, jika APBD diperkirakan defisit maka ditetapkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut yang diantaranya dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang.

Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup:

1) Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;

2) Penerimaan pinjaman Daerah;

Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah. Pinjaman Daerah bersumber dari:

a) Pemerintah;

b) Pemerintah Daerah lain;

c) Lembaga keuangan bank;

d) Lembaga keuangan bukan bank; dan

e) Masyarakat berupa Obligasi Daerah.

3) Penerimaan kembali pemberian pinjaman;

4) Pencairan dana cadangan daerah;

5) Penerimaan piutang; dan

6) Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup:

1) Pembentukan dana cadangan;

2) Penanaman modal (investasi) pemerintah daerah;

3) Pembayaran pokok utang; dan

4) Pemberian pinjaman daerah.

Menurut Saragih (2003:82), apapun komposisi dari APBD suatu daerah tentu harus disesuaikan dengan perkembangan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan. Setiap daerah tidak harus memaksakan diri untuk menggenjot pengeluaran tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya, khususnya kapasitas PAD. Dikhawatirkan jika pemerintah daerah menetapkan kebijakan defisit pada APBD-nya, maka sumber pembiayaan untuk menutupi sebagian atau seluruh defisit anggaran berasal dari pinjaman atau utang.

Oleh sebab itu, masih menurut Saragih (2003:82), yang lebih aman adalah tidak mendesain anggaran daerah yang ekspansif tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya. Bisa-bisa keuangan pemerintah daerah bangkrut hanya karena mengikuti ambisi untuk menggenjot pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan struktur APBD yang baik adalah dengan memperkecil (didasari efisiensi dan efektivitas) belanja rutin daerah pada pos-pos yang tidak perlu dan mendesak. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma penganggaran dari yang berbasis line item (tradisional) ke arah penganggaran berbasis kinerja. Artinya, penganggaran berbais kinerja ini melihat penilaian kinerja lembaga berdasarkan besarnya dana yang terserap dari suatu program atau kegiatan. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus dapat menghasilkan (yield) nilai tambah bagi perekonomian daerah atau kemakmuran masyarakat yang diindikasikan melalui target yang bersifat kuantitatif. Selanjutnya dalam proses penganggarannya, sistem ini juga menghendaki dipertimbangkannya beberapa fungsi, yakni fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

DESENTRALISASI FISKAL

Otonomi daerah dan termasuk di dalamnya desentralisasi fiskal mengharuskan daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi. Beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Bappenas, 2003:1).

Menurut Saragih (2003:83), yang dimaksud dengan desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik, sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dan dalam pelaksanaannya, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.

Desentralisasi Fiskal dalam otonomi daerah ditujukan untuk menciptakan kemandirian daerah. Sidik (2002:1) menyatakan bahwa dalam era ini, pemerintah daerah diharapkan mampu menggali dan mengoptimalkan potensi (keuangan lokal), khususnya pendapatan asli daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat mengingat ketergantungan semacam ini akan mengurangi kreatifitas lokal untuk mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal yang lebih efisien.

Menurut Sidik (2002:2), ada tiga sumber daya yang harus mampu dikelola oleh pemerintah daerah guna mencapai tujuan yang telah ditentukan, yakni pengelolaan atas pegawai, keuangan, dan kelembagaan. Kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan layanan publik dan menjalankan pembangunan sangat tergantung pada kemampuan keuangannya. Tanpa uang, pemerintah daerah tidak dapat membayar pegawai, perlengkapan dan peralatan, serta berbagai kontrak penyediaan layanan lokal, dan lain sebagainya. Desentralisasi fiskal dan devolusi tampak sebagai dua sisi yang berbeda dari satu koin mata uang yang sama sehingga desentralisasi fiskal menuntut adanya devolusi, dan begitu pula sebaliknya.

Menurut Muluk (2005), desentralisasi fiskal pada dasarnya berkaitan dengan dua hal pokok, yakni kemandirian daerah dalam memutuskan pengeluaran guna menyelenggarakan layanan publik dan pembangunan, dan kemandirian daerah dalam memperoleh pendapatan untuk membiayai pengeluaran tersebut. Selain persoalan desentralisasi fiskal, daerah pada dasarnya juga menghadapi persoalan internal yang menyangkut kesanggupan daerah mengelola keuangan daerahnya berdasarkan prinsip 5E, yakni: efficient, effective, economic, equal, excellent.

POTENSI FISKAL DAERAH

Potensi fiskal merupakan kemampuan daerah dalam menghimpun dana melalui sumber-sumber yang sah. Potensi fiskal daerah tercermin dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan lain-lain pendapatan yang sah. Salah satu wujud desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai potensinya masing-masing (Firmansyah, 2006:41).

Menurut Halim, (2002:320) upaya peningkatan pendapatan daerah tidak terlepas dari 2 (dua) hal pokok, yaitu:

A. Potensi sumber-sumber PAD, terdiri dari:

1. Potensi sumber daya alam

Potensi sumber daya alam adalah kekayaan alam yang dimiliki atau ditemukan di daerah yang pengelolaanya dikuasai oleh daerah. Sumber daya alam terdiri dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sumber daya alam yang dapat diperbaharui, dan sumber daya alam yang dapat pulih. Secara teoritis, sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui akan berkurang potensinya sesuai jumlah penggalian dan pengolahannya yang pada gilirannya cepat lambat potensinya akan habis. Contohnya bahan tambang galian golongan C.

Yang patut diperhatikan adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yang mana sangat memerlukan sebuah kebijakan dalam pemanfaatannya. Bila dimanfaatkan secara benar akan memberikan keuntungan pada masa sekarang dan yang akan datang. Pemanfaatannya harus disertakan dengan konservasi atau pelestarian, terutama melalui usaha budidaya. Contohnya adalah sumber daya hasil hutan, perkebunan, pertanian, peternakan dan perikanan.

Selanjutnya sumber daya alam yang dapat pulih adalah sumber daya alam yang potensinya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan atau musim. Contohnya adalah potensi air bawah tanah dan air permukaan. Pada musim kemarau, potensinya dapat menyusut karena berbagai sifat seperti pengeboran, penguapan atau perembesan. Khusus bagi sumber daya alam kelompok ini yang patut diperhatikan adalah menghindari terjadinya pencemaran.

2. Potensi sumber daya manusia

Potensi sumber daya manusia dapat dilihat dari kuantitas maupun kualitasnya. Kualitas sumber daya manusia tercermin dari jumlah penduduk secara kuantitas SDM cukup besar, namun dilihat dari kualitasnya relatif masih rendah. Kualitas SDM yang masih rendah ini diukur dari tingkat pendidikan (angka melek huruf dan lama sekolah) dan derajat kesehatannya (usia harapan hidup), serta daya beli masyarakat. Dewasa ini, ukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas SDM diantaranya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).

3. Potensi sumber daya buatan

Potensi sumber daya buatan adalah seluruh hasil karya manusia dalam wujud fisik, seperti prasarana dan sarana produksi, perhubungan (transportasi dan komunikasi), bangunan/gedung dan lain-lain. Hampir seluruh potensi sumber daya buatan yang dibangun oleh Pemerintah, swasta maupun masyarakat merupakan potensi daerah yang dapat dikembangkan sebagai sumber pendapatan asli daerah. Potensi jenis ini tampaknya relatif lebih mudah untuk dikembangkan karena potensinya dapat dijadikan objek pajak daerah ataupun retribusi daerah.

4. Potensi sumber daya kelembagaan

Yang dimaksud sumber daya kelembagaan adalah hasil karya manusia non-fisik berupa organisasi pemerintahan, kemasyarakatan, perusahaan, peraturan perundang-undangan maupun nilai-nilai yang menjadi pedoman masyarakat dalam berperilaku.

Keberadaan sumber daya kelembagaan ini tidak dapat diabaikan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan PAD, sebab sumber daya kelembagaan inilah yang dapat melaksanakan operasional kegiatan untuk meningkatkan PAD tersebut. Di sini sistem manajemen pemerintahan, khususnya yang menangani tentang keuangan daerah sangat penting dalam melaksanakan dan menopang penggalian sumber-sumber keuangan maupun pemanfaatannya.

Dalam hal ini, peranan organisasi pengelola dinilai sangat penting. Sebagai organisasi pengelola PAD adalah Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) yang secara khusus dan bersama-sama instansi terkait bertugas untuk melakukan pendataan, penagihan, dan penyetoran PAD. Dipenda sebagai organisasi pengelola PAD mempunyai tugas antara lain meningkatkan PAD.

B. Faktor-faktor pendukung

Potensi sumber-sumber PAD adalah seluruh obyek yang dapat memberikan kontribusi terhadap jumlah PAD. Sementara faktor pendukungnya adalah kemampuan penyelenggara administrasinya. Ukuran yang dapat digunakan untuk pengukuran perekonomian daerah adalah rata-rata pendapatan per-kapita atau rata-rata daya beli penduduk di daerah tersebut. Dengan kata lain tergantung tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Faktor pendukung yang lain adalah:

1) Letak geografis wilayah;

2) Kesuburan tanah;

3) Kekayaan hasil-hasil tambang;

4) Jumlah penduduk; dan

5) Usaha-usaha ekonomi produktif sebagai lapangan kerja dan berusaha.

Leave a comment